“ 1001 Cerita Dibalik Kue Lopis “
“Apakah hidup itu selalu mujur ? apakah hidup
itu bisa seperti burung di angkasa sana ? terbang bebas mengepakan kedua
sayapnya tanpa seorangpun mengganggu.
Orang bilang
roda akan selalu berputar, yang bawah akan naik keatas dan yang atas akan turun
kebawah. Tapi…, apakah benar ? ku kira hanya sebuah bualan belaka. Hanya omong
kosong seorang yang tak tahu apa-apa tentang realita.
Aku sudah bosan
hidup di dunia ini. Semua munafik dan kejam, dunia ini bagaikan siksa neraka
bagiku.
Setiap mata
memandang hina diriku, apakah ini takdirku ? aku juga manusia tapi mengapa
orang diluar sana anggapku sebaliknya ?
( Jakarta, 1992
) Namaku Sendi Puspita, aku adalah seorang gadis yang baru berulang tahun ke 16
kemarin. Kata orang hidupku ini sempurna, semua hal di dunia pasti ada pada
diriku. Semua orang selalu memperhatikanku, termasuk tetanggaku yang sering
menyanjung dan memuji ku dengan cacian dan cercaan mereka.
Aku ini terlahir dari keluarga yang bahagia dan cukup
kaya. Ayahku selalu pergi bekerja dengan giat, sampai 8 tahun ia tak pernah
pulang dan memberi kabar, ibuku juga selalu terlihat sangat senang sampai
setiap hari dia selalu tersenyum dan tertawa sendiri di dalam kamarnya.
Rumahku
sangatlah mewah, atapnya terbuat dari genteng tahun 1944-an yang berwarna lumut dan bermotifkan
lubang-lubang kecil, tembok rumahku juga sangat bagus, penuh retakan dan cat
terkelupas yang menambah nilai artristiknya, selain itu yang paling mengesankan
adalah lantai rumah beralaskan tanah yang memberikan kehidupan bagi para rayap
dan semut. Huh sungguh sangat sempurna. Yah, inilah hidupku yang nista, penuh dengan cacian dan hinaan dari
ribuan orang diluar sana.
Pagi
ini aku akan pergi ke sekolah berharap ada sedikit kemujuran disana. Sebelum berangkat Pagi-pagi sekali aku pergi
ke kebun belakang rumah, Kucabut ubi yang ku kira belum ada isinya itu, mungkin
hanya sebesar ibu jari. Ku pikir ini cukup untuk mengganjal perut ibu dan aku
sehari nanti. Kunyalakan kayu bakar di dalam pawon yang terletak disudut dapur. Beberapa menit dan akhirnya
matang juga.
“
Ibu, ini sarapannya ku taruh di depan pintu. Aku berangkat dulu.“, kataku sebelum aku meninggalkan rumah.
Yah,
ibuku memang begitu, setiap hari mengurung di kamar. Dia selalu berdiam dan
kadang menangis. Aku benar tak ingat sejak kapan ibu seperti itu, mungkin sejak
bapak pergi 8 tahun lalu. Huh, ingin benar rasanya aku memberobatkan ibu, tapi…
mau bagaimana lagi aku tak punya apapun untuk lakukan itu.
Perjalanan
ke sekolah terasa sama getirnya seperti hari-hari sebelumnya dan hari ini
mungkin lebih sial dari hari kemarin. Sebenarnya aku tidak berniat ke sekolah,
karena aku takut dengan ancaman Pak Setno rabu kemarin.
“
Sendi, sendi kamu itu bocah niat sekolah atau ndak ? uang gedung kok belum
lunas setengah tahun ! bukan belum lunas tapi emang belom dibayar ! ”, kata Pak
Setno dengan muka yang memerah. “ Maaf pak, saya belum bisa membayar, pakde
belum kasih uang “, kataku lirih.
“
Alasan saja kamu ini ya ! sudah pokoknya besok lusa uang gedung harus sudah
lunas, kalau tidak kamu tidak usah ikut pembelajaran, sebelum kamu bisa
melunasinya !”, bentak Pak Setno saat
itu. Sungguh aku sebenarnya takut datang hari ini, aku takut kalau aku
bertemu Pak Setno.
Sampainya
di sekolah, benar saja firasatku, Pak Setno sudah beridiri di depan kelasku
yang pasti dia sengaja untuk menungguku. Dengan memberanikan diri aku melewati
pak setno tanpa menoleh kearahnya, namun tetap saja akhirnya aku harus keluar dari
sekolah ini.
Sekarang
aku sudah tak sekolah, hidupku bertambah susah sekarang. Hari-hari kuhabiskan
dengan mengamen di bawah lampu merah. Yah inilah aku sekarang menjadi seorang
musisi kecil jalanan. Aku bernyanyi dan terus bernyanyi sampai aku tak tahu aku
bernyanyi apa ? mungkin lagu sedih, atau juga bahagia dalam sedih.
“
Oh, tolonglah aku…. aku hanya rakyat kecil… tak punya gaji, tak punya cita,
hidup penuh sengsara… “
“
ini, ini… sana pergi ! “, bentak seorang dalam kaca avanza hitam itu. Dia melemparkan
1000 rupiah di depanku, yang kini uang itu jatuh ke selokan karena baru saja
tertiup angin. Sejujurnya aku masih beruntung hari ini karena itu adalah salah
satu orang yang lebih baikdari yang lain biasanya, masih mau memberiku uang
walau aku harus memungutnya. Kadang ada yang membentak atau memukul kepalaku,
entah siapa dia, yang hanya ada tangan keluar dari jendela mobil. Sungguh aku
tak bisa berbuat banyak aku hanya pasrah dan hanya bisa bernyanyi dan
bernyanyi.
Huft,
sungguh lelah seharian bernyanyi manggung
dimana-mana, pindah mobil dikanan kiri. Kadang aku bosan setiap hari
seperti ini. Biasanya aku ingin bunuh diri karena tak sanggup, namun juga
kadang ada sedikit rasa semangat di hidupku. Huh entahlah…
Setelah selesai mengamen aku pergi ke pasar. Aku
berharap bisa menemukan sisa sayur atau apapu yag tercecer disana.
“Dek,
dek… bisa tolong bantu ibu “, tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang
menghampiriku yang sedang jongkok di pinggir tong sampah. “ ada apa bu ? “, jawabku
lirih sambil berdiri menatap ibu itu. “kamu bisa bantu ibu bawa belanjaan ke
mobil ibu ? tangan ibu sakit”. Aku lihat memang tangan ibu itu terlihat
membengkak, warnanya agak kemerah-merahan. “ baiklah bu, mana belanjaannya ?”,
kataku sembari mengambil belanjaan di tangan ibu itu.
Mobilnya
tak jauh dari tempat itu, sekitar 50 meter mungkin. Sekali-kali saat
perjalannan ke mobil itu, aku melirik tangan si ibu, dia terlihat sangat
kesakitan, mungkin terkilir. Yah aku tahulah sedikit tentang hal seperti itu,
setidaknya dulu aku pernah jadi anggota PMR saat SMP.
“Terima
kasih ya dek sudah mau membantu ibu ini ibu kasih uang jajan. “, kata ibu itu
sambil menyodorkan uang 10 ribu. “ waduh, nggak usah bu… saya nggak minta uang,
saya hanya bantu-bantu aja “, kataku menolak. “ udah nggak papa terima aja lah,
kamu nggak mau buat ibu kecewa kan ? “. Dengan ragu-ragu kuterima uang itu,
walau sebenarnya aku memang benar tidak mengharapkan uang dari ibu itu.
Hari-hari
berjalan seperti biasa, ya sama hambarnya tak ada rasa hidup disana. Kini aku
sudah mempunyai profesi tambahan yaitu setelah pulang manggung dan cari sisa
intan makanan dipasar, kini aku bekerja sebagai seorang binaragawan yang setia
menganggkat belanjaan orang. Aku berharap ada sedikit uang yang kuterima dan
bisa buat tambahan makan nanti.
“Seorang
anak tukang becak di kota pati, jawa tengah akhirnya bisa menenpuh
pendidikannya di Amsterdam Belanda karena beasisiwa yang dia peroleh. Selain
itu masih banyak pemuda yang sukses, seperti ani sarto yang akhrinya menjadi
pedagang pisang ijo terlaris di Indonesia. Itulah lintas pagi ini, salam tv 5.”
Seketika
aku terbela-lala melihat sekilas berita yang kulihat di took penjual tv dipojok
pasar. Aku merasa… entahlah, aku tak bisa mengatakan apapun. Aku tak sangka
mereka bisa seperti itu. Dari yang hanya sama seorang sampah kini menjadi
bintang yang paling terang di angkasa yang paling tinggi. “Apakah itu benar ?
jadi aku bisa seperti mereka ? “. Tiba-tiba suatu pikiran muncul dalam
kepalaku, timbul juga seonggok semangat yang sangat yakin akan usaha mengubah
realita hidup yang selama ini aku alami.
“Baiklah
aku akan berhasil kali ini ! kalau orang menjahuiku akan ku buat mereka mencari
dan membutuhkanku nanti ! “, tak sadar kata-kata itu keluar dari mulutku.
Kini
aku bekerja lebih giat, berharap aku bisa mengumpulkan uang untuk suatu hal
nanti. “ ini nak , terima kasih ya… ini
uangnya “. “ iya bu sama-sama”. Beberapa lembar rupiahpun sudah aku dapatkan
hari ini, aku tak mengerti padahal biasanya aku tak dapat sebanyak ini, ah
mungkin karena aku terlalu semangat.
Hari
ini aku pulang dengan perasaan yang sangat senang. “ Terima kasih Ya Tuhan ! kau berikan hasil yang banyak hari
ini.”, kataku sambil ku hitung uang saat berjalan pulang. “ Woey, sini lu !
sinih uangnya ! “, tiba-tiba uang yang ada ditanganku diambil begitu saja. “
bang jangan bang, itu uang saya “, sahutu keras berusaha merebut uang itu. “
yang bilang uang setan siapa ha ?! udah minggir ! “, bentak laki-laki bertato
itu yang langsung pergi. Sungguh aku menangis hebat saat itu, aku tak peduli
banyak mata memandangku, aku sangat sedih, frustasi karena uang yang diambil
itu. “ Dasar kejam ! gila kau ! “ , teriakku sat itu.
Kini
aku pulang dengan tangan hampa. Seharian aku bekerja kini tak sepeserpun ada dikantongku.
SALAH
APA AKU YA TUHAN !
“
Ahhh, mamah aku mau beli kue tadi !! yang ijo-ijo itu ! “, tangis seorang anak
yang memecahkan lamunanku. “kuenya udah abis nak, ayo kita pulang”, seorang
wanita bernbaju merah itu, ku kira itu ibunya. Tak jauh dari sana aku melihat
banyak orang yang berkumpul. “Apa itu rame banget ?“. Perlahan aku mendekat ke
kerumunan itu.
“Mbah
beli lopisnya sepuluh mbah !” “ saya duluan kok mbah, saya Cuma beli lapan
mbah”, kata-kata yang sering kudengar disana. Aku melihat seorang wanita tua
menjual kue lopis dan itu sangat laris sekali sampai aku tak bisa melihat wajah
mbah itu, karea tertutup kerumunan orang disana.
Perjalanan
pulang aku sudah tak memikirkan uangku yang hilang tadi, kini yang kupikirkan
adalah mbah lopis tadi. “ Aku… aku.. harus berjualan ! “.
Kini
aku bekerja lebih keras lagi, kali ini aku akan mengumpulkan uang untuk modal
jualan nanti. Kini aku sudah membagi jam kerjaku. Pagi hari aku menjadi tukang
angkut dipasar, siangnya aku ngamen dijalan, dan sorenya aku mencari sisa
makanan di pasar. Wah sungguh hebat, dalam waktu sebulan aku sudah dapat 300
ribu.
“koh
beli beras ketan sama garem “, katakau di sebuah toko dipasar. “Punya duit nggak ! “ kata laki-laki
berkacamata itu padaku. “ ini koh “, jawabku sambil memberikannya kepada
penjual itu.
Hari
ini aku tak pergi jadi kuli angkut, karena aku akan membuat lopisku. Yah
walaupun aku putus sekolah, tapi setidaknya dulu pernah aku belajar membuat
lopis dulu saat pelajaran prakarya mungkin.
Subuh-subuh
aku sudah berangkat dari rumah, kini aku tak berangkat ngamen, hari ini aku
akan mulai jualan. “ bu, sendi berangkat dulu ya, doain biar lopisnya abis ya,
assalamuallaikum “, pamitku di depan pintu kamar ibu.
Sampai
dipasar aku tempatkan meja kecil yang kubawa dari rumah di pojok belakang para
pedagang diluar. “beli lopisnya buk… enak lo “, “ mas lopisnya mas !” kataku
seharian ini namun belum ada yang menyentuh lopisku.
Dan
akhirnya aku pulang dengan tangan hampa, lopisku tak laku satu pun. “Apakah
emang susah gini ya jualan itu “ , kataku sambil menggendong lopisku pulang.
Sampai
diruma, lopis itulah yang aku makan
bersama ibu. Huh, kenyang memang tapi tetap saja aku sedih karena lopisku tak
ada yang laku.
Setiap
hari aku tetap jualan lopis di pasar, walau ta ada yang beli satupun. Aku
sangat sedih dan putus asa kali ini, sudah hampir 1 bulan aku memakan lopisku
untuk makan dirumah.
Sampai
di suatu siang, “dek beli lopis “, sebuah kalimat indah yang lama kunanti
akhhirnya muncul. “ oh iya buk, mau beli berapa ? “ , kataku dengan tersenyum.
“2000 aja dek “, katanya sambil memberiku uang. “ ini bu lopisnya, terima kasih
ya “. Akhirnya setelah sekian lama, ada
yang beli lopisku walau seorang.
Esoknya
aku tetap jualan dipasar, dengan doa dan tekad aku semangat untuk ualan hari
ini, walau aku tahu ini mungkin jualanku yang terakhir karena modal untuk
jualan sudah habis. Namun hari ini aku medapat durian runtuh dari Tuhan, yang
benar saja ibu kemarin datang lagi kepadaku.
“
Dek saya beli semua ya lopisnya “, kata ibu itu dengan memberiku uang 50 ribu.
“
Hah, semua buk ? “,seruku tak percaya.
“
Iya, mau buat kondangan nanti jam 9, lopismu enak kok dek “.
Akhhirnya
keajaiban benar-benar datang kepadaku. “ Terima kasih Ya Tuhan, terima kasih !
“, kataku sambil sujud disamping meja dagangku.
“besok
aku akan jualan lagi ! “, seruku sambil pergi ketoko membawa uang ibu tadi
“
Bu sendi pamit, ! “. Seperti biasanya aku berangkat ke pasar
untuk jualan. Kali ini aku sangat bersemangat, tak pernah dalam hidupku hatiku
serasa berapi-api seperti ini.
“
Dek saya beli lopisnya”, kata seorang mendekat.
“
saya juga beli dek ! “, seru seorang lagi.
Tak
terasa sebulan sudah berlalu, dan tak kusangka lopisku kini sudah ramai sekali
bahkan sama ramainya dengan milik mbah lopis dulu.
TERIMA
KASIH TUHAN YESUS
Setahun
sudah berlalu, dan aku sudah mempunyai sebuah warung kecil dipasar. Kini aku
juga sudah tak pernah mengamen atau memunguti sisa makanan lagi. Aku tak pernah
makan ubi lagi, sekarang aku dan ibu sudah bisa makan nasi sama ayam walaupun
tak setiap hari.
Dan
tak terasa 5 tahun berlalu dan aku sudah menjadi orang. Aku sudah menjadi salah
satu bintang yang paling terang di angkasa. Lopisku sangat disukai banyak orang
dan kini aku sudah punya banyak restoran
lopis di sebagian besar daerah di Indonesia. Sekarang aku sudah bisa beli rumah
dan ibu juga sudah sembuh. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas nikmat dan
rejeki yang dilimpahkan padaku. Sungguh kesabaran dan semangat memang modal
utama sukses.