Banjir Darah di Dusun Kecil
Langit teduh kebiruan memayungi dusun
terpencil di lembah sunyi itu. Sejuk angin yang berhembus dari bukit-bukit yang
mengelilingi dudun membuat penduduk sering bermimpi tentang hal-hal yang indah.
Akan tetapi, tiba-tiba saat menjelang
ashar, dusun mungil itu seolah-olah berubah menjadi kancah hura-hura. Teriakan
wanita di pinggir sungai mengalihkan perhatian penduduk setempat untuk
berbondong-bondong menuju sumber suara. Beberapa meter sebelum warga mendekat
tercium bau busuk yang sangat menyengat. Ditambah seorang wanita yang terlihat
tersungkur ke belakang. Ada gerangan yang telah terjadi? Pikir mereka.
“Nduk…ada apa? Kenapa kamu berteriak
kencang sekali?” Orang-orang semakin mengerumuni tubuh tersungkurnya.
“lihat! Lihat! Bukankah aku tak salah
lihat? Diatas batu itu kupikir itu kepala manusia! Coba lihat! Ya Gusti dosa
apa telah diperbuat dusun ini” Perlahan-lahan, satu persatu, benda asing yang
dianggap kepala itu didekati oleh kerumunan orang-orang itu.
“Astaga ini tidak hanya kepala ini
sebuah mayat” Teriak salah satu dari mereka.
Semua warga yang disana terkejut.bukan
hanya karena penemuan mayat yang ada disungai, tetapi bagaimana rupa mayat
tersebut. Ia seorang lelaki dan merupakan lelaki yang berpengaruh di dusun
mungil itu. Seseorang yang akan dijadikan pemimpin mereka malah mati
mengenaskan sekarang. Banyak warga yang menangisi kepergiannya, lihatlah
tubuhnya…. Bagian perutnya kosong. Dadanya pun dibelah. Organ-organ tubuhnya
yang diluar pun hilang. Seperti mata itu, yang biasanya berbinar pancarkan
semangat kerja.
Setelah kejadian tersebut, banyak
timbul kabar burung yang beredar di masyarkat. Mereka mulai menaykini arwah
nenek moyang yang ada disini mulai marah. Tetapi ada sebagian dari mereka
meyakini bahwa ini semua akibat adanya ilmu hitam yang dipelajari seseorang.
Kabar terus menyebar, terbawa angin yang berhembus.
Di tengah malam seseorang yang bekerja
di perkebunan mulai melangkah untuk pulang. Ia hanya seorang pemetik daun the,
wanita paruh baya yang harus bekerja sampai malam untuk mengumpulkan hasil
petikannya besok pada mandor perkebunan. Malam itu memang malam yang sunyi tak
terlihat seorang pun yang masih terjaga, hanya terlihat samar obor kecil yang
ada di tangan wanita itu menerangi gelapnya malam.
Di dusun kecil itu memang tidak ada
listrik, dulu sempat sebentar ada tapi sjak tahun 1985 asupan listrik dari
pemerintah daerah diberhentikan karena banyak warga yang menentang, dan
menganggap listrik adalah hal yang tabu dan hal itu berlawanan dengan adat
setempat. Yah bayangan inilah yang sempat terlintas dipikiran wanita itu saat
melangkah menelusuri jalan setapak kecil menuju pemukiman dusun.
Angin yang bertiup agak kencang menggoyangkan
dedaunan sekitar membuat wanita itu mempercepat langkahnya, sempat ia menengok
ke atas dan tak satu bintangpun yang terlihat dan pasti bakal turun hujan
pikirnya.
Saat hampir mendekati pemukiman yang
kira-kira tinggal 50 meter lagi jauhnya, kaki yang hanya beralas sandal jepit
itu tak sengaja menginjak sesuatu yang kenyal. Ia yakin itu bukan batu, jadi ia
memutuskan berhenti sejenak untuk meraba
benda itu.
“Duh Gusti… i-ini tangan manusia?
Bagaimana mungki seseorang tergeletak disini?”
Ia mulai melangkahkan kakinya. Memukul
kentongan yang ada di gubuk tengah dusun. Warga dusun mulai berdatangan.
Tergopoh-gopoh, bingung mengapa mereka dikumpulkan di tengah malam seperti ini
.
“ Mengapa engkau memukul di tengah
malam seperti ini?”
“Aku… aku melihat seseorang tergeletak
di jalan setapak dekat kebun teh. Aku tidak tahu apakah ia masih hidup atau
sudah mati.”
Mereka semua yang mendengar mulai
resah, takut jika kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali. Menguatkan
tekad, sambil membawa beberapa obor kecil meraka pun menuju tempat yang
diarahkan wanita itu.
“ Yanto.. Duh Gusti…. Yanto anakku Ada
apa denganmu nak?”
Seorang ibu yang ada dalam kerumunan
langsung menghampiri tubuh yang sudah
terbujur kaku di tanah , tangis dan jeritannya memenuhi malam yang sunyi itu.
Kondisi tubuh Yanto sama persis dengan
mayat pemuda beberapa hari lalu. Ditambah, kaki pemuda itu hilang.
“Apa kesalahan penduduk dusun ini Gusti,
kenapa bisa ada kejadian seperti ini?” Ucap Kepala Desa yang mulai resah.
Seorang warga mendekat.”Kejadian ini
tidak bisa dibiarkan .”
“Benar kita harus segera bertindak
Bagaimana jika kita lapor ke polisi?” Seru seorang warga yang jongkok disamping
mayat Yanto.
“Jangan!” Semua warga yang berkumpul
itu seketika menoleh kearah sumber suara di barisan paling belakang. Sebuah
peci hitam dan perlahan diikuti oleh badan seseorang mulai tampak terlihat dari
gelapnya malam dan ramainya kerumunan.
“Kita jangan melapor kepada polisi,
polisi hanya akan mempersulit semua ini. Aku adalah anak bekas datuk di dusun
ini, jadi kalian haruslah percaya padaku Coba kalian pikir jika polisi datang
bukannkah itu menyalahi adat disini? bahwa orang asing tak boleh mencampuri
urusan warga dusun ini? Jangan sampai roh nenek moyang marah kepada kita”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Apa
kita hanya akan diam saja?”, Sahut salah seorang warga yang juga merupakan
salah satu petinggi di dusun itu.
“Aku yakin ini pasti berhubungan dengan
Ilmu Hitam”.
“Ilmu hitam?” Kata Kepala Desa yang
sejak tadi berusaha menenangkan Ibu dari Yanto.
“Iya ilmu hitam, apa kalia tak pernah
dengar tentang bulam merah? besok lusa
adalah bulan merah itu, aku yakin korban-korban ini dijadikan tumbal kepada
sang roh jahat”, Jelas Sapto dengan yakin.
“Dasar kejam sekali, tapi kira-kira
siapa yang melakukan ini semua? Sungguh bejat kelakuanny”, Sahut Kepala Desa.
“Jika Ilmu Jahat pasti hanya dukun yang
tahu”, Kata seorang berambut ikal yang jongkok disamping mayat Yanto. Dia adalah
anak seorang janda tua yang baru meninggal 2 bulan lalu, perawakannya tinggi, kulitnya
agak kuning, matanya bulat, dan umurnya kira-kira 30 tahun. Masyarakat dusun
sering memanggilnya Cakil, karena giginya yang seperti Cakil.
“Dukun? Tidak salah lagi hanya ada satu
dukun disini”, Tegas Sapto.
“Ayo langsung saja kita ke rumah Mbah
Rejo pasti dia pelakunya”, Seru Cakil sambil mengangkat obornya tinggi.
“Tapi kita tak punya bukti”, Kata Kepala Desa yang khawatir.
“Aahh, kita akan menemukannya disana” Kata
Sapto yang memimpin pergi ke rumah Mbah Rejo.
Berbondong-bondong mereka datang ke
rumah Mbah Rejo. Muka masam dan geram terliahat jelas di wajah para warga. Tak
lama mereka sudah sampai di Rumah Mbah Rejo. Rumah Mbah Rejo berada di bawah
pohon bambu yang cukup lebat, terlihat
disana ada sebuah lampu pertomaks kecil yang diletakan di teras rumah sebagai
penerangan.
“Mbah Rejo buka pintunya!” Teriak Sapto
mengetuk kasar pintu bilik Mbah Rejo.”Mbah Rejo buka”
Banyak warga yang juga ikut berteriak
agar Mbah Rejo keluar dari bilik bambu kecilnya itu. Tak sabar, langsung saja
mereka membuka paksa pintu rumah Mbah Rejo. Di dalam tak terlihat sedikitpun
sosok Mbah Rejo, yang ada hanya 2 buah umbi rebus yang terbungkus daun pisang dan
sebuah kend air yang berada di atas lincak di pojok bilik.
“Aku yakin dia pasti bersembunyi ,
cepat periksa semua rumah ini dan temukan dia”, Seru Cakil.
Setiap sudut ruangan di bilik bambu
milik Mbah Rejo sudah di periksa, namun tetap saja batang hidung Mbah Rejo
tidak terlihat.
Pagi hari pun tiba, terlihat sinar
mentari mulai perlahan terbit di timur. Embun yang segar masih melekat erat
dengan dedaunan di dusun kecil itu. Di ujung gapura dusun terlihat samar
langkah seseorang pria yang agak tua sedang menuju pemukiman dusun. Langakahnya
pelan dan badannya terlihat agak bungkuk, kulitnya coklat dan keriput. Terlihat
juga di kepalanya ada kain Jarit yang dililitkan pertanda sangat kental
kepercayaannya pada ada dusun itu. Dialah Mbah Rejo orang yang dicari-cari
warga dusun itu.
Tak lama dia melangkah ke pemukiman ada
seorang warga yang langsung meneriakinya dan langsung saja Sapto, Cakil dan
warga lainnya berlari kearah Mbah Rejo. Kaget dan bingung terlihat jelas di
wajah Mbah Rejo saat itu.
“Ada apa ini? kenapa ramai-rami begini?”
Tanya Mbah Rejo yang agak ketakutan melihat wajah warga yang garang dan masam.
“Dasar laki-laki bejat kau munafik”, Yang
langsung memukul kencang pipi kanan pria senja itu.
“Ayo lebih baik kita pukuli orang tak
tau malu ini sampai mampus”, Teriak Cakil dengan mengawali menendang punggung
lelaki tua yang sudah tersungkur itu.
Warga lainnya pun yang geramlangsung
saja imut memukulinya. Tak lama Kepala Desa datang dan menghentikan pemukulan
itu. Mbah Rejo selamat dari amukan warga dan kini di amankan di rumah Kepala
Desa untuk di lakukan siding bersama.
Sidang berlangsung lama samapi tak
terasa senja pun mulai meramba.
“Baiklah sidang ini kita lanjutkan
besok pagi”, Kata Kepala Desa singkat.
Malam itu Mbah Rejo dibawa ke rumahnya
dan dikunci disana, serta tak lupa banyak warga yang tengah berjaga di sekitar
rumah Mbah Rejo, termasuk Sapto dan Cakil.
Di dalam Mbah Rejo tak bisa memejamkan
matanya karena rasa sakit bekas pukulan di tubuh rentanya serta beban mental
terhadap hukuman besok pagi. Tak lama kemudian Spato masuk ke dalam rumah Mbah
Rejo.
“Bagaimana? Kau sudah terima karmamu
kan? Dulu kau tak merestui hubunganku dengan anakmu, sekarang lihatlah
balasannya” Kata Sapto keras.
“Cuih, sampai mati pun aku tak sudi
membiarkan anakmu bergaul dengan anak datuk pembunuh macam kau, ayahmu yang kejam
itu telah membunuh adikku.” Bentak Mbah Rejo dengan meludah kearah Sapto.”Atau
jangan-jangan kaulah yang melakuakan pembunuhan ini, bapaknya pembunuh anaknya
juga pasti pembunuh”.
“Tutup mulut mu dasar tua bangka kalo
mau bisa kubunuh kau sekarang juga”, Teriak Sapto dengan mengeluarkan parang
dari ikat pinggangnya.
“Bunuh… bunuh… silahkan bunuh aku tak
takut” balas Mbah Rejo dengan berdiri dari duduknya.
“Dasar kau laki-laki gila”, teriak Sapto.
Pertengkaran itu berlangsung agak lama,
tak sedikit orang diluar yang ikut mendengarkan pertengkaran mereka di dalam,
dan pada akhirnya pertegkaran itu berakhir dengan keluarnya Sapto dari rumah Mbah
Rejo. Dia lalu berpamitan meminta izin warga lainnya yang tengah berjaga untuk
pulang sebentar menenangkan diri.
Keesokan harinya waktu yang ditunggu
warga atas hukuman Mbah Rjo pun telah tiba. Warga yang berjaga segera membuka
pintu untuk membawa Mbah Rejo ke balai desa untuk diadili.
Tak lama pintu dibuka terlihat banyak
sekali ceceran darah disana, dan benar dugaan, siapa lagi jika bukan darah Mbah
Rejo yang sudah terbujur kaku di lantai tanah biliknya. Kondisi tubuh Mbah Rejo
pun sama dengan kasus sebelumnya, tubuhnya tak lengkap lagi.
“Gila siapa yang melakukan ini”
“Jadi pelakunya bukan Mbah Rejo? lalu
siapa?”
Banyak pertanyaan yang terucap oleh
wargai yang ramai disana. Tak lama kabar kematian Mbah Rejo sampai telinga Kepala
Desa, dan segera saat itu dia pergi memastikan.
Terkejut dan tak percaya Kepala Desa
melihat mayat Mbah Rejo.
“Jadi Pak siapa yang melakukan ini
semua? kalobukan Mbah Rejo lalu siapa lagi?”, Tanya salah seorang warga.
“Yang pasti orang ini ada dekat dengan
kita”, kata Kepala Desa sambil memeriksa mayat itu.
Semua orang terlihat bingung dan juga
khawatir karena pembunuh itu masih bebas berkeliaran, mereka takut jika
tiba-tiba salah seorang dari mereka menjdai korban selanjutnya.
“Sapto”, seru Cakil.
“Apa kau bilang?”, tanya seorang warga.
“Pembunuhnya adalah Sapto”, tegas Cakil
dengan keras dan penuh keyakinan.
“Tapi bagaimana mungkin?”
“Semalam aku melihatnya masuk ke dalam
rumah Mbah Rejo, di dalam mereka bertengkar sangat keras, tak hanya aku saja
yang tahu orang yang berjaga semalam pun mendengarnya”, seru Cakil.
“Benar aku mendengarnya, dan Sapto lah
satu-satunya orang yang masuk ke dalam”, imbuh beberapa warga.
“Dan juga perlu diingat Sapto juga
punya dendam terhadap Mbah Rejo karena hubungannya dengan anaknya yang tidak
direstui, jadi bukan hal yang mustahil Saptolah pelaku selama ini”, seru Cakil.
“Benar Betul” terdengar ramai suara
warga.
“Ada apa ini? Sapto Sapto apa?” Tiba-tiba
Sapto muncul di depan kerumunan warga itu.
“Dasar pembunuh kau” “mati sajalah kau”
seru warga ramai dan langsung saja Sapto dibawa ke Balai desa untuk di hokum
ataas perbuatannya. Dengan penuh dengan seretan dan paksaan Sapto berhasil
dibawa kesana.
Disana Sapto akan dipenggal kepalanya
yang terlebih dahulu dicambuk sebanyak 100 kali.
“Tolong bebaskan aku aku tidak bersalah!”
kata Sapto berulang kali sambil merasakan cambukan diseluruh tubuhnya. Terlihat
jelas keringat panasterik matahari bercampur darah yang menetes ribuan kali ke
tanah. Warna merah bekas cambukan mulai banyak tercetak ditubuh kurus Sapto.
Pada cambukan ke 60, “Bukan aku yang
melakukannya aku dijebak, Cakil lah yang melakukan ini semua dia menyuruhku
untuk masuk ke dalam rumah Rejo dan Dia juga yang menyuruhku keluar”. Cambukan
berhenti sejenak dan semua pandangan tertuju kearah Cakil”. Omong Kosong Jngan
percaya dengannya
“Jika aku masuk ke dalam, siapa orang
di sini yang melihat ku masuk? Lagipula, semua orang tengah berjaga semalam dan
yang mereka tahu hanya kau satu-satunya yang masuk ke sana!” Bentak Cakil
kepada Sapto
“Betul! Betul!” Seru semua warga.
“Sudah langsung panggil saja dia!” Teriak
Cakil kepada algojo
Semua warga teriak setuju penuh
dukungan, Kepala Desa tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menyaksikan
warga yang berkoar-koar dan menyetujui perintah oleh warga karena dia juga tak
punya bakat untuk membuktikan Sapto tidak bersalah.
Sapto sudah pasrah kepada Sang Hyang,
dia perlahan memejamkan matanta dan berdoa agar dia tak merasakan sakit. Tangan
algojo yang besar itu perlahan mulai mengangkat pedang besarnya dan diarahkan
ke Sapto. Tak lama sebelum algojo menyentuhkan pedangnya ke leher, tiba-tiba
muncul teriakan.
“Hentikan!!” Jeritan seorang wanita
yang mengenakan dress putih dari belakang kerumunan orang dan berlari kea rah Sapto.
Beberapa laki-laki berseragam polisi.
“Bukan Kang Sapto pelakunya! Lepaskan dia!” Teriak wanita itu.
“Siapa Kamu?! Beraninya kamu lancang
seperti ini! Dan siapa meraka? Berani
juga kamu membawa orang asing ke sini!” Teriak Cakil kepada wanita itu.
“Aku Ratih, anak dari Mbah Rejo, Orang
yang telah kau bunuh!” Teriak wanita itu dengan air mata yang cukup deras
membasahi pipinya.
“Apa maksudmu?!” Tanya Kepala Desa
kepada Ratih.
“Cakil pelaku semua ini, dia membunuh
semua orang dan mengambil semua organ dalamnya untuk dijual. Dia itu kejam. Dia
telah menuduh bapakku karena bapakku sudah tahu perbutannya. Kini dia ingin
membunuh Kang Sapto!” Teriak Ratih sambil menunjuk ke arah Cakil.
“Apa yang kau katakana?! Dasar pembohog!” Kata Cakil dengan keringat
yang membasahi keningnya.
“Dasar kau pembunuh! Kau membuat scenario seolah-olah kau tidak
bersalah! Kau ke rumah bapakku saat
semua orang tertidur. Kau menyuruh Kang Sapto masuk dan menyuruhnya keluar,
seakan-akan kau buat dia bersalah! Dasar
bejat kau!”
“O.. jadi kau yang melakukan semua ini.
Dasar…!”, semua warga terlihat marah wajah merah dan parang serta celurit sudah
ada di tangan mereka. Bersiap mereka memukul dan membunuh si Cakil.
Namun, sebelum itu terjadi polisi yang
sudah di bawa Ratih lebih cepat mengamankan Cakil untuk di bawa ke kota ke kantor
polisi untuk dihukum sesuai proses peradilan di daerah itu.
Tak lama setelah Cakil ditangkap, Sapto
dibebaskan dan segera dibawa ke rumah sakit kota untuk mendapatkan perawatan
karena luka parah bekas siksaan yang dilakukan warga.
Setelah Sapto sadar, semua warga
meminta maaf karena merasa bersalah kepada Sapto. Pada akhirnya, Sapto juga
telah mengubah persepsinya tentang hal asing di luar adalah buruk, menjadi hal
asing yang tidak selalu buruk karena baginya hal asing itulah yang telah
menyelamatkan hidupnya. Hal yang dianggap baik bukan berarti benar-benar baik
dan sebaiknya hal yang selalu dianggap buruk juga bukan berarti benar-benar
buruk, yang terpenting adalah fakta dan kenyataan yang ada bukan opini yang
menyebabkan orang lain menderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar