Pages

Kamis, 22 Oktober 2015

Cerpen Horor Misteri



Banjir Darah di Dusun Kecil

Langit teduh kebiruan memayungi dusun terpencil di lembah sunyi itu. Sejuk angin yang berhembus dari bukit-bukit yang mengelilingi dudun membuat penduduk sering bermimpi tentang hal-hal yang indah.
Akan tetapi, tiba-tiba saat menjelang ashar, dusun mungil itu seolah-olah berubah menjadi kancah hura-hura. Teriakan wanita di pinggir sungai mengalihkan perhatian penduduk setempat untuk berbondong-bondong menuju sumber suara. Beberapa meter sebelum warga mendekat tercium bau busuk yang sangat menyengat. Ditambah seorang wanita yang terlihat tersungkur ke belakang. Ada gerangan yang telah terjadi? Pikir mereka.
“Nduk…ada apa? Kenapa kamu berteriak kencang sekali?” Orang-orang semakin mengerumuni tubuh tersungkurnya.
“lihat! Lihat! Bukankah aku tak salah lihat? Diatas batu itu kupikir itu kepala manusia! Coba lihat! Ya Gusti dosa apa telah diperbuat dusun ini” Perlahan-lahan, satu persatu, benda asing yang dianggap kepala itu didekati oleh kerumunan orang-orang itu.
“Astaga ini tidak hanya kepala ini sebuah mayat” Teriak salah satu dari mereka.
Semua warga yang disana terkejut.bukan hanya karena penemuan mayat yang ada disungai, tetapi bagaimana rupa mayat tersebut. Ia seorang lelaki dan merupakan lelaki yang berpengaruh di dusun mungil itu. Seseorang yang akan dijadikan pemimpin mereka malah mati mengenaskan sekarang. Banyak warga yang menangisi kepergiannya, lihatlah tubuhnya…. Bagian perutnya kosong. Dadanya pun dibelah. Organ-organ tubuhnya yang diluar pun hilang. Seperti mata itu, yang biasanya berbinar pancarkan semangat kerja.
Setelah kejadian tersebut, banyak timbul kabar burung yang beredar di masyarkat. Mereka mulai menaykini arwah nenek moyang yang ada disini mulai marah. Tetapi ada sebagian dari mereka meyakini bahwa ini semua akibat adanya ilmu hitam yang dipelajari seseorang. Kabar terus menyebar, terbawa angin yang berhembus.
Di tengah malam seseorang yang bekerja di perkebunan mulai melangkah untuk pulang. Ia hanya seorang pemetik daun the, wanita paruh baya yang harus bekerja sampai malam untuk mengumpulkan hasil petikannya besok pada mandor perkebunan. Malam itu memang malam yang sunyi tak terlihat seorang pun yang masih terjaga, hanya terlihat samar obor kecil yang ada di tangan wanita itu menerangi gelapnya malam.
Di dusun kecil itu memang tidak ada listrik, dulu sempat sebentar ada tapi sjak tahun 1985 asupan listrik dari pemerintah daerah diberhentikan karena banyak warga yang menentang, dan menganggap listrik adalah hal yang tabu dan hal itu berlawanan dengan adat setempat. Yah bayangan inilah yang sempat terlintas dipikiran wanita itu saat melangkah menelusuri jalan setapak kecil menuju pemukiman dusun.
Angin yang bertiup agak kencang menggoyangkan dedaunan sekitar membuat wanita itu mempercepat langkahnya, sempat ia menengok ke atas dan tak satu bintangpun yang terlihat dan pasti bakal turun hujan pikirnya.
Saat hampir mendekati pemukiman yang kira-kira tinggal 50 meter lagi jauhnya, kaki yang hanya beralas sandal jepit itu tak sengaja menginjak sesuatu yang kenyal. Ia yakin itu bukan batu, jadi ia memutuskan  berhenti sejenak untuk meraba benda itu.
“Duh Gusti… i-ini tangan manusia? Bagaimana mungki seseorang tergeletak disini?”
Ia mulai melangkahkan kakinya. Memukul kentongan yang ada di gubuk tengah dusun. Warga dusun mulai berdatangan. Tergopoh-gopoh, bingung mengapa mereka dikumpulkan di tengah malam seperti ini .
“ Mengapa engkau memukul di tengah malam seperti  ini?”
“Aku… aku melihat seseorang tergeletak di jalan setapak dekat kebun teh. Aku tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah mati.”
Mereka semua yang mendengar mulai resah, takut jika kejadian beberapa hari yang lalu terulang kembali. Menguatkan tekad, sambil membawa beberapa obor kecil meraka pun menuju tempat yang diarahkan wanita itu.
“ Yanto.. Duh Gusti…. Yanto anakku Ada apa denganmu nak?”
Seorang ibu yang ada dalam kerumunan langsung menghampiri  tubuh yang sudah terbujur kaku di tanah , tangis dan jeritannya memenuhi malam yang sunyi itu. Kondisi  tubuh Yanto sama persis dengan mayat pemuda beberapa hari lalu. Ditambah, kaki pemuda itu hilang.
“Apa kesalahan penduduk dusun ini Gusti, kenapa bisa ada kejadian seperti ini?” Ucap Kepala Desa yang mulai resah.
Seorang warga mendekat.”Kejadian ini tidak bisa dibiarkan .”
“Benar kita harus segera bertindak Bagaimana jika kita lapor ke polisi?” Seru seorang warga yang jongkok disamping mayat Yanto.
“Jangan!” Semua warga yang berkumpul itu seketika menoleh kearah sumber suara di barisan paling belakang. Sebuah peci hitam dan perlahan diikuti oleh badan seseorang mulai tampak terlihat dari gelapnya malam dan ramainya kerumunan.
“Kita jangan melapor kepada polisi, polisi hanya akan mempersulit semua ini. Aku adalah anak bekas datuk di dusun ini, jadi kalian haruslah percaya padaku Coba kalian pikir jika polisi datang bukannkah itu menyalahi adat disini? bahwa orang asing tak boleh mencampuri urusan warga dusun ini? Jangan sampai roh nenek moyang marah kepada kita”.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Apa kita hanya akan diam saja?”, Sahut salah seorang warga yang juga merupakan salah satu petinggi  di dusun itu.
“Aku yakin ini pasti berhubungan dengan Ilmu Hitam”.
“Ilmu hitam?” Kata Kepala Desa yang sejak tadi berusaha menenangkan Ibu dari Yanto.
“Iya ilmu hitam, apa kalia tak pernah dengar tentang bulam merah?  besok lusa adalah bulan merah itu, aku yakin korban-korban ini dijadikan tumbal kepada sang roh jahat”, Jelas Sapto dengan yakin.
“Dasar kejam sekali, tapi kira-kira siapa yang melakukan ini semua? Sungguh bejat kelakuanny”, Sahut Kepala Desa.
“Jika Ilmu Jahat pasti hanya dukun yang tahu”, Kata seorang berambut ikal yang jongkok disamping mayat Yanto. Dia adalah anak seorang janda tua yang baru meninggal 2 bulan lalu, perawakannya tinggi, kulitnya agak kuning, matanya bulat, dan umurnya kira-kira 30 tahun. Masyarakat dusun sering memanggilnya Cakil, karena giginya yang seperti Cakil.
“Dukun? Tidak salah lagi hanya ada satu dukun disini”, Tegas Sapto.
“Ayo langsung saja kita ke rumah Mbah Rejo pasti dia pelakunya”, Seru Cakil sambil mengangkat obornya tinggi.
“Tapi kita tak punya bukti”,  Kata Kepala Desa yang khawatir.
“Aahh, kita akan menemukannya disana” Kata Sapto yang memimpin pergi ke rumah Mbah Rejo.
Berbondong-bondong mereka datang ke rumah Mbah Rejo. Muka masam dan geram terliahat jelas di wajah para warga. Tak lama mereka sudah sampai di Rumah Mbah Rejo. Rumah Mbah Rejo berada di bawah pohon bambu  yang cukup lebat, terlihat disana ada sebuah lampu pertomaks kecil yang diletakan di teras rumah sebagai penerangan.
“Mbah Rejo buka pintunya!” Teriak Sapto mengetuk kasar pintu bilik Mbah Rejo.”Mbah Rejo buka”
Banyak warga yang juga ikut berteriak agar Mbah Rejo keluar dari bilik bambu kecilnya itu. Tak sabar, langsung saja mereka membuka paksa pintu rumah Mbah Rejo. Di dalam tak terlihat sedikitpun sosok Mbah Rejo, yang ada hanya 2 buah umbi rebus yang terbungkus daun pisang dan sebuah kend air yang berada di atas lincak di pojok bilik.
“Aku yakin dia pasti bersembunyi , cepat periksa semua rumah ini dan temukan dia”,  Seru Cakil.
Setiap sudut ruangan di bilik bambu milik Mbah Rejo sudah di periksa, namun tetap saja batang hidung Mbah Rejo tidak terlihat.
Pagi hari pun tiba, terlihat sinar mentari mulai perlahan terbit di timur. Embun yang segar masih melekat erat dengan dedaunan di dusun kecil itu. Di ujung gapura dusun terlihat samar langkah seseorang pria yang agak tua sedang menuju pemukiman dusun. Langakahnya pelan dan badannya terlihat agak bungkuk, kulitnya coklat dan keriput. Terlihat juga di kepalanya ada kain Jarit yang dililitkan pertanda sangat kental kepercayaannya pada ada dusun itu. Dialah Mbah Rejo orang yang dicari-cari warga dusun itu.
Tak lama dia melangkah ke pemukiman ada seorang warga yang langsung meneriakinya dan langsung saja Sapto, Cakil dan warga lainnya berlari kearah Mbah Rejo. Kaget dan bingung terlihat jelas di wajah Mbah Rejo saat itu.
“Ada apa ini? kenapa ramai-rami begini?” Tanya Mbah Rejo yang agak ketakutan melihat wajah warga yang garang dan masam.
“Dasar laki-laki bejat kau munafik”, Yang langsung memukul kencang pipi kanan pria senja itu.
“Ayo lebih baik kita pukuli orang tak tau malu ini sampai mampus”, Teriak Cakil dengan mengawali menendang punggung lelaki tua yang sudah tersungkur itu.
Warga lainnya pun yang geramlangsung saja imut memukulinya. Tak lama Kepala Desa datang dan menghentikan pemukulan itu. Mbah Rejo selamat dari amukan warga dan kini di amankan di rumah Kepala Desa untuk di lakukan siding bersama.
Sidang berlangsung lama samapi tak terasa senja pun mulai meramba.
“Baiklah sidang ini kita lanjutkan besok pagi”, Kata Kepala Desa singkat.
Malam itu Mbah Rejo dibawa ke rumahnya dan dikunci disana, serta tak lupa banyak warga yang tengah berjaga di sekitar rumah Mbah Rejo, termasuk Sapto dan Cakil.
Di dalam Mbah Rejo tak bisa memejamkan matanya karena rasa sakit bekas pukulan di tubuh rentanya serta beban mental terhadap hukuman besok pagi. Tak lama kemudian Spato masuk ke dalam rumah Mbah Rejo.
“Bagaimana? Kau sudah terima karmamu kan? Dulu kau tak merestui hubunganku dengan anakmu, sekarang lihatlah balasannya” Kata Sapto keras.
“Cuih, sampai mati pun aku tak sudi membiarkan anakmu bergaul dengan anak datuk pembunuh macam kau, ayahmu yang kejam itu telah membunuh adikku.” Bentak Mbah Rejo dengan meludah kearah Sapto.”Atau jangan-jangan kaulah yang melakuakan pembunuhan ini, bapaknya pembunuh anaknya juga pasti pembunuh”.
“Tutup mulut mu dasar tua bangka kalo mau bisa kubunuh kau sekarang juga”, Teriak Sapto dengan mengeluarkan parang dari ikat pinggangnya.
“Bunuh… bunuh… silahkan bunuh aku tak takut” balas Mbah Rejo dengan berdiri dari duduknya.
“Dasar kau laki-laki gila”, teriak Sapto.
Pertengkaran itu berlangsung agak lama, tak sedikit orang diluar yang ikut mendengarkan pertengkaran mereka di dalam, dan pada akhirnya pertegkaran itu berakhir dengan keluarnya Sapto dari rumah Mbah Rejo. Dia lalu berpamitan meminta izin warga lainnya yang tengah berjaga untuk pulang sebentar menenangkan diri.
Keesokan harinya waktu yang ditunggu warga atas hukuman Mbah Rjo pun telah tiba. Warga yang berjaga segera membuka pintu untuk membawa Mbah Rejo ke balai desa untuk diadili.
Tak lama pintu dibuka terlihat banyak sekali ceceran darah disana, dan benar dugaan, siapa lagi jika bukan darah Mbah Rejo yang sudah terbujur kaku di lantai tanah biliknya. Kondisi tubuh Mbah Rejo pun sama dengan kasus sebelumnya, tubuhnya tak lengkap lagi.
“Gila siapa yang melakukan ini”
“Jadi pelakunya bukan Mbah Rejo? lalu siapa?”
Banyak pertanyaan yang terucap oleh wargai yang ramai disana. Tak lama kabar kematian Mbah Rejo sampai telinga Kepala Desa, dan segera saat itu dia pergi memastikan.
Terkejut dan tak percaya Kepala Desa melihat mayat Mbah Rejo.
“Jadi Pak siapa yang melakukan ini semua? kalobukan Mbah Rejo lalu siapa lagi?”, Tanya salah seorang warga.
“Yang pasti orang ini ada dekat dengan kita”, kata Kepala Desa sambil memeriksa mayat itu.
Semua orang terlihat bingung dan juga khawatir karena pembunuh itu masih bebas berkeliaran, mereka takut jika tiba-tiba salah seorang dari mereka menjdai korban selanjutnya.
“Sapto”, seru Cakil.
“Apa kau bilang?”, tanya seorang warga.
“Pembunuhnya adalah Sapto”, tegas Cakil dengan keras dan penuh keyakinan.
“Tapi bagaimana mungkin?”
“Semalam aku melihatnya masuk ke dalam rumah Mbah Rejo, di dalam mereka bertengkar sangat keras, tak hanya aku saja yang tahu orang yang berjaga semalam pun mendengarnya”, seru Cakil.
“Benar aku mendengarnya, dan Sapto lah satu-satunya orang yang masuk ke dalam”, imbuh beberapa warga.
“Dan juga perlu diingat Sapto juga punya dendam terhadap Mbah Rejo karena hubungannya dengan anaknya yang tidak direstui, jadi bukan hal yang mustahil Saptolah pelaku selama ini”, seru Cakil.
“Benar Betul” terdengar ramai suara warga.
“Ada apa ini? Sapto Sapto apa?” Tiba-tiba Sapto muncul di depan kerumunan warga itu.
“Dasar pembunuh kau” “mati sajalah kau” seru warga ramai dan langsung saja Sapto dibawa ke Balai desa untuk di hokum ataas perbuatannya. Dengan penuh dengan seretan dan paksaan Sapto berhasil dibawa kesana.
Disana Sapto akan dipenggal kepalanya yang terlebih dahulu dicambuk sebanyak 100 kali.
“Tolong bebaskan aku aku tidak bersalah!” kata Sapto berulang kali sambil merasakan cambukan diseluruh tubuhnya. Terlihat jelas keringat panasterik matahari bercampur darah yang menetes ribuan kali ke tanah. Warna merah bekas cambukan mulai banyak tercetak ditubuh kurus Sapto.
Pada cambukan ke 60, “Bukan aku yang melakukannya aku dijebak, Cakil lah yang melakukan ini semua dia menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah Rejo dan Dia juga yang menyuruhku keluar”. Cambukan berhenti sejenak dan semua pandangan tertuju kearah Cakil”. Omong Kosong Jngan percaya dengannya
“Jika aku masuk ke dalam, siapa orang di sini yang melihat ku masuk? Lagipula, semua orang tengah berjaga semalam dan yang mereka tahu hanya kau satu-satunya yang masuk ke sana!” Bentak Cakil kepada Sapto
“Betul!  Betul!” Seru semua warga.
“Sudah langsung panggil saja dia!” Teriak Cakil kepada algojo
Semua warga teriak setuju penuh dukungan, Kepala Desa tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menyaksikan warga yang berkoar-koar dan menyetujui perintah oleh warga karena dia juga tak punya bakat untuk membuktikan Sapto tidak bersalah.
Sapto sudah pasrah kepada Sang Hyang, dia perlahan memejamkan matanta dan berdoa agar dia tak merasakan sakit. Tangan algojo yang besar itu perlahan mulai mengangkat pedang besarnya dan diarahkan ke Sapto. Tak lama sebelum algojo menyentuhkan pedangnya ke leher, tiba-tiba muncul teriakan.
“Hentikan!!” Jeritan seorang wanita yang mengenakan dress putih dari belakang kerumunan orang dan berlari kea rah Sapto.
Beberapa laki-laki berseragam polisi.
“Bukan Kang Sapto pelakunya!  Lepaskan dia!” Teriak wanita itu.
“Siapa Kamu?! Beraninya kamu lancang seperti ini!  Dan siapa meraka? Berani juga kamu membawa orang asing ke sini!” Teriak Cakil kepada wanita itu.
“Aku Ratih, anak dari Mbah Rejo, Orang yang telah kau bunuh!” Teriak wanita itu dengan air mata yang cukup deras membasahi pipinya.
“Apa maksudmu?!” Tanya Kepala Desa kepada Ratih.
“Cakil pelaku semua ini, dia membunuh semua orang dan mengambil semua organ dalamnya untuk dijual. Dia itu kejam. Dia telah menuduh bapakku karena bapakku sudah tahu perbutannya. Kini dia ingin membunuh Kang Sapto!” Teriak Ratih sambil menunjuk ke arah Cakil.
“Apa yang kau katakana?!  Dasar pembohog!” Kata Cakil dengan keringat yang membasahi keningnya.
“Dasar kau pembunuh!  Kau membuat scenario seolah-olah kau tidak bersalah!  Kau ke rumah bapakku saat semua orang tertidur. Kau menyuruh Kang Sapto masuk dan menyuruhnya keluar, seakan-akan kau buat dia bersalah!  Dasar bejat kau!”
“O.. jadi kau yang melakukan semua ini. Dasar…!”, semua warga terlihat marah wajah merah dan parang serta celurit sudah ada di tangan mereka. Bersiap mereka memukul dan membunuh si Cakil.
Namun, sebelum itu terjadi polisi yang sudah di bawa Ratih lebih cepat mengamankan Cakil untuk di bawa ke kota ke kantor polisi untuk dihukum sesuai proses peradilan di daerah itu.
Tak lama setelah Cakil ditangkap, Sapto dibebaskan dan segera dibawa ke rumah sakit kota untuk mendapatkan perawatan karena luka parah bekas siksaan yang dilakukan warga.

Setelah Sapto sadar, semua warga meminta maaf karena merasa bersalah kepada Sapto. Pada akhirnya, Sapto juga telah mengubah persepsinya tentang hal asing di luar adalah buruk, menjadi hal asing yang tidak selalu buruk karena baginya hal asing itulah yang telah menyelamatkan hidupnya. Hal yang dianggap baik bukan berarti benar-benar baik dan sebaiknya hal yang selalu dianggap buruk juga bukan berarti benar-benar buruk, yang terpenting adalah fakta dan kenyataan yang ada bukan opini yang menyebabkan orang lain menderita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar